UNDANG UNDANG NO. 35 TH 2009 TENTANG NARKOTIKA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang
merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia
sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan
secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;
b.
bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di
bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan
ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta
melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c.
bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan
apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang
ketat dan saksama;
d. bahwa
mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau
menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama
serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana
Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi
kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional
Indonesia;
e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi,
teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah
banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk
menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika
1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3085);
3.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Illicit Trafficin Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3673);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2.
Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.
3.
Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan
menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi
atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya,
termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.
4.
Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam
Daerah Pabean.
5.
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari
Daerah Pabean.
6.
Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
7.
Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
8.
Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
9.
Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan
Narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan
apa pun.
10.
Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki
izin untuk melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran sediaan
farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
11.
Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin
untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat,
termasuk Narkotika.
12.
Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara
lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang
terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
13.
Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun
psikis.
14.
Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
15.
Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.
16.
Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.
17.
Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik
fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
18.
Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau
bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan,
menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi
anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu
tindak pidana Narkotika.
19.
Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau
penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau
jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi
elektronik lainnya.
20.
Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok
yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada
untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu
tindak pidana Narkotika.
21.
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
22.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
BAB II
DASAR, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Undang-Undang tentang Narkotika
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 3
Undang-Undang tentang Narkotika
diselenggarakan berasaskan:
a.
keadilan;
b.
pengayoman;
c.
kemanusiaan;
d.
ketertiban;
e.
perlindungan;
f.
keamanan;
g.
nilai-nilai ilmiah; dan
h.
kepastian hukum.
Pasal 4
Undang-Undang
tentang Narkotika bertujuan:
a.
menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b.
mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan
Narkotika;
c.
memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d.
menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan
pecandu Narkotika.
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 5
Pengaturan
Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 6
1)
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II;
dan
c. Narkotika Golongan
III.
2)
Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
3)
Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 7
Narkotika
hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 8
1)
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
2)
Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik,
serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas
rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
BAB IV
PENGADAAN
Bagian Kesatu
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 9
1)
Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2)
Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disusun rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
3)
Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun
berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi
tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan,
pengendalian, dan pengawasan Narkotika secara nasional.
4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
1)
Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam
negeri, dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 11
1)
Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi Narkotika kepada Industri Farmasi
tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2)
Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai dengan
rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
3)
Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku,
proses produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 12
1)
Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses
produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2)
Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau
penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 13
1)
Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta
penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta
dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk
kepentingan ilmu bpengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri.
2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan
penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Keempat
Penyimpanan dan Pelaporan
Pasal 14
1)
Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar
farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,
pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
2)
Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan
lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan
berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam
penguasaannya.
3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
4)
Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa:
a.
teguran;
b.
peringatan;
c.
denda administratif;
d.
penghentian sementara kegiatan; atau
e.
pencabutan izin.
BAB V
IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Kesatu
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor
Pasal 15
1)
Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik
negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan untuk melaksanakan impor Narkotika.
2)
Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari
perusahaan milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan impor Narkotika.
Pasal 16
1)
Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri untuk
setiap kali melakukan impor Narkotika.
2)
Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
berdasarkan hasil audit Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap rencana
kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika.
3)
Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas
hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
4)
Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
pemerintah negara pengekspor.
Pasal 17
Pelaksanaan
impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor
dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di Negara pengekspor.
Bagian Kedua
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 18
1)
Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik
negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.
2)
Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari
perusahaan milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan ekspor Narkotika.
Pasal 19
1)
Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri untuk
setiap kali melakukan ekspor Narkotika.
2)
Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemohon harus melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 20
Pelaksanaan
ekspor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor
dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di Negara pengimpor.
Pasal 21
Impor
dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya dilakukan melalui kawasan
pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.
Pasal 22
Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor
dan Surat Persetujuan bEkspor diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengangkutan
Pasal 23
Ketentuan
peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang tetap berlaku bagi
pengangkutan Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini atau
diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 24
1)
Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat
persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika
yang dikeluarkan oleh Menteri.
2)
Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan
Ekspor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat
persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di Negara pengimpor.
Pasal 25
Penanggung
jawab pengangkut impor Narkotika yang memasuki wilayah Negara Republik
Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat
Persetujuan Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat persetujuan
ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di negara pengekspor.
Pasal 26
1)
Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari
Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Negara pengimpor kepada orang
yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
2)
Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib
memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau
Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di Negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
3)
Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib membawa dan bertanggung
jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan
dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
Pasal 27
1)
Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan
khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda
dengan disaksikan oleh pengirim.
2)
Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika yang diangkut.
3)
Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah
tiba di pelabuhan tujuan wajib melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya
kepada kepala kantor pabean setempat.
4)
Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda
dengan disaksikan oleh pejabat bea dan cukai.
5)
Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa dokumen atau Surat Persetujuan
Ekspor atau Surat Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita acara,
melakukan tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera
melaporkan dan menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.
Pasal 28
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk
pengangkutan udara.
Bagian Keempat
Transito
Pasal 29
1)
Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen atau Surat Persetujuan
Ekspor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau
Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
pengekspor dan pengimpor.
2)
Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari pemerintah negara
pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alamat
pengekspor dan pengimpor Narkotika;
b. jenis, bentuk, dan
jumlah Narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor
Narkotika.
Pasal 30
Setiap
terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada Transito Narkotika hanya
dapat dilakukan setelah adanya
persetujuan
dari:
a.
pemerintah negara pengekspor Narkotika;
b.
pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan
c.
pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.
Pasal 31
Pengemasan
kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan terhadap
kemasan asli Narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah
tanggung jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
Pasal 32
Ketentuan
lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Pemeriksaan
Pasal 33
Pemerintah
melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito
Narkotika.
Pasal 34
1)
Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang diimpornya disaksikan oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor Narkotika di
perusahaan.
2)
Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
menyampaikan hasil penerimaan impor Narkotika kepada pemerintah negara
pengekspor.
BAB VI
PEREDARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
Peredaran
Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau
penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 36
1)
Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin
edar dari Menteri.
2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran
Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
3)
Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan
Pengawas Obatdan Makanan.
4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika
dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 37
Narkotika
Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun
sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38
Setiap
kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 39
1)
Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi,
dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
2)
Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin
khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.
Pasal 40
1)
Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a.
pedagang besar farmasi tertentu;
b.
apotek;
c.
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan
d.
rumah sakit.
2)
Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a.
pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b.
apotek;
c.
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
d.
rumah sakit; dan
e.
lembaga ilmu pengetahuan.
3)
Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan
Narkotika kepada:
a.
rumah sakit pemerintah;
b.
pusat kesehatan masyarakat; dan
c.
balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 41
Narkotika
Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada
lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 42
Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 43
1)
Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a.
apotek;
b.
rumah sakit;
c.
pusat kesehatan masyarakat;
d.
balai pengobatan; dan
e.
dokter.
2)
Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a.
rumah sakit;
b.
pusat kesehatan masyarakat;
c.
apotek lainnya;
d.
balai pengobatan;
e.
dokter; dan
f.
pasien.
3)
Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya
dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
4)
Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a.
menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b.
menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan; atau
c.
menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
5)
Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh
dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Pasal 44
Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan Narkotika sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 45
1)
Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik dalam
bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika.
2)
Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk
tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan
pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan
bagian dari wadah, dan/atau kemasannya.
3)
Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada kemasan Narkotika harus
lengkap dan tidak menyesatkan.
Pasal 46
Narkotika
hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak
ilmiah farmasi.
Pasal 47
Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pencantuman label dan publikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB VIII
PREKURSOR NARKOTIKA
Bagian Kesatu
Tujuan Pengaturan
Pasal 48
Pengaturan
prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:
a.
melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor Narkotika;
b.
mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika; dan
c.
mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor Narkotika.
Bagian Kedua
Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika
Pasal 49
1)
Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam
Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
2)
Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
3)
Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri terkait.
Bagian Ketiga
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 50
1)
Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika untuk
kepentingan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
2)
Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
berdasarkan jumlah persediaan, perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor
Narkotika secara nasional.
3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyusunan rencana
kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasidengan menteri
terkait.
Bagian Keempat
Pengadaan
Pasal 51
1)
Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui produksi dan impor.
2)
Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 52
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan
dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB IX
PENGOBATAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Pengobatan
Pasal 53
1)
Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat
memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan
sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2)
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau
membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.
3)
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa
Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh
secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua
Rehabilitasi
Pasal 54
Pecandu
Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 55
1)
Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
2)
Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan
oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
3)
Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
1)
Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk
oleh Menteri.
2)
Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah
mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 57
Selain
melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika
dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui
pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika
diselenggarakanbaik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 59
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur
dengan Peraturan Menteri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial.
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 60
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap
segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi upaya:
a.
memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b.
mencegah penyalahgunaan Narkotika;
c.
mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan
Narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan Narkotika
dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas;
d.
mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan; dan
e.
meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi Pecandu
Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 61
(1)
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang
berkaitan dengan Narkotika.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan;
d. produksi;
e. impor dan ekspor;
f. peredaran;
g. pelabelan;
h. informasi; dan
i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar